Krisis Ekonomi di AS dan Eropa: Mencari Kesempatan dalam Kesempitan
Negara kita bukan seperti Korea Utara, Cuba, atau Albania yang mempunyai
perekonomian tertutup. Indonesia menganut perekonomian terbuka, yang
secara tidak langsung, dampak krisis global yang tengah melanda dunia
saat ini sangat dirasakan. Krisis di Amerika Serikat (AS) membuat nilai
ekspor Indonesia ke AS pada bulan September 2011 turun sekitar 200 juta
USD, dari yang 1,38 Milyar USD menjadi 1,18 milyar USD di bulan Agustus
2011. Begitu juga krisis yang melanda di Eropa, membuat penurunan nilai
ekspor kita ke negara tujuan Eropa anjlok sekitar 543 juta USD, dari
Agustus 2011 sebesar 1,94 milyar USD menjadi hanya 1,39 milyar USD saja.
Eksportir kita sepertinya masih teralu sentris pada kedua tujuan ekspor
tersebut. Mungkin sudah warisan, eksportir kita hanya memandang kedua
tujuan ekspor tersebut sangat potensial. Padahal sejarah menulis, ada track record yang sangat buruk dari perkembangan perekonomian di kedua negara tersebut.
Kita mulai dari AS, yang sejak tahun 1929 negara ini telah pernah mengalami krisis yang sangat buruk. “The Great Depression” yang terkenal dengan sebutan “Black Tuesday”
sempat membuat negeri paman sam ini kolaps. Meski pernah jatuh miskin,
negara adidaya ini malah berperan sebagai polisi dunia mulai dari perang
dingin dengan Uni Soviet hingga perang teluk di Timur Tengah membuat
anggaran negara ini makin defisit.
Di ujung tahun 2008, negara yang dipimpin Barack Obama saat ini malah
mengalami krisis finasial hebat. Para ekonom menyebutnya “The Global Financial Crisis”. Krisis
ini dipicu oleh kegagalan pengelolaan bisnis di sektor real estate
akibat kejenuhan pasar properti yang dipaksakan dengan melakukan
spekulasi mengantisipasi meningkatnya harga di masa mendatang (bubble economics).
Sementara, eskalasi krisis diakibatkan oleh sekuritisasi saham-saham
saham sektor properti di pasar modal dan makin dimarakkan dengan
instrumen derifatifnya di berskala internasional.
Ketika bulan September 2008, terjadi volatilitas tinggi di pasar modal
secara global. Lembaga keuangan banyak yang mulai gagal saat jatuh
tempo. Hal ini pun akhirnya membuat pemerintah AS memberikan bailout kepada lembaga keuangannya tersebut. Dana talangan tersebut merupakan hutang pemerintah (government debt) dan makin membuat pemerintah AS makin mengencangkan ikat pinggangnya untuk anggarannya.
Sekarang Eropa, sejak 2010 krisis sudah melanda di 4 negara yang
disebut PIGS yaitu Portugal, Italia, Greece (Yunani) dan Spanyol. Dalam
perjanjian di Uni Eropa, tiap-tiap negara anggota diwajibkan mematuhi
aturan dimana defisit anggaran tidak boleh lebih dari 3 % dari PDB-nya.
Keempat negara ini tak sanggup memenuhi perjanjian tersebut dan berujung
pada tumbangnya perdana menteri di Yunani dan Italia, akibat chaos yang terjadi. Itu masih defisit anggaran, belum hutang pemerintah yang harus ditanggung.
Kericuhan negara-negara tersebut makin membuat disparitas kemakmuran
negara anggota Uni Eropa (UE) makin jelas terlihat. Sebagai
perbandingan, pada tahun 2010, pertumbuhan ekonomi Jerman mencapai
3,504%, sementara Portugal hanya 1,398%, Italia hanya 1,296%, Spanyol
terpuruk di angka – 0,147%, dan yang lebih mengenaskan Yunani
pertumbuhannya -4,535%. Kita masih boleh menepuk dada, bahwa pertumbuhan
ekonomi di Indonesia jauh dari negara-negara tersebut, yakni sebesar
6,105%.
Apakah kejadian diatas akan berdampak ke perekonomian negara kita?
Secara tidak langsung memang iya, hanya saja kita masih dalam pihak
“dewi fortuna”. Ada 3 keberuntungan kita dalam mengantisipasi dampak
krisis di AS dan EU ini (Prof. Wibisono Hardjopranoto, dalam paparan “Seminar Ekonomi Nasional: Dampak Krisis Eropa & Amerika terhadap Bisnis di Indonesia”,2011), pertama,
jumlah penduduk kita yang cukup besar membuat pertumbuhan ekonomi kita
masih stabil, meskipun dengan kualitas rendah dan bertumpu pada
konsumsi. Kedua, ekonomi Indonesia belum bercorak export-led karena porsi ekspornya hanya sekitar 26% dari PDB, sehingga tekanan ekspor tidak secara telak berpengaruh. Ketiga, pengalaman krisis ekonomi pada tahun 1998 membuat Indonesia lebih siap mengantisipasinya.
Rasa was-was jika negara-negara tujuan ekspor utama kita mengalami
kemerosotan mungkin wajar. Tapi apakah kita tak sadar bahwa masih ada
Macan Asia yang siap “mengaum” dengan keras, dialah China. Data dari
Economic Watch, menunjukkan prosentase Investasi terhadap GDP negara
tirai bambu ini pada tahun 2010 sebesar 48,774%. Konon kabarnya,
cadangan devisa negara ini sekitar 3 triliun USD, padahal cadangan di
seluruh dunia sekitar 9 triliun USD. Fantastis!
Meski neraca perdagangan kita terhadap China pada bulan Oktober lalu
surplus 106,9 juta USD, namun kita juga tetap harus waspada. Neraca
perdagangan AS dan negara UE terhadap China sedang mengalami defisit.
Ini paling tidak membuat negara “panda” ini memutar otak agar tidak
terjadi over supply di negaranya. Apalagi, aturan di negara tersebut sangat ketat untuk melakukan konsumsi barang.
Politik Dumping bisa jadi alasannya. Masih ingatkan pada sekitar tahun
2000-an, banjirnya produk otomotif khususnya buatan China membanjiri
nusantara. Pemerintah China berdalih, gerojokan ekspor sepeda motor cina
(mocin) itu sebagai langkah mengurangi polusi di negaranya. Tetepi
setelah diteliti, ternyata harga mocin itu jauh lebih mahal di negara
asalnya dibandingkan dengan di Indonesia.
Beberapa ekonom berpendapat, kini saatnya kita merubah kiblat tujuan
ekspor kita. AS dan Eropa mungkin sudah tua renta, dan bukan “gadis
sexy” yang bisa dipinang untuk pemasaran produk buatan dalam negeri
kita. China bisa jadi acuan produk buatan kita, asalkan bukan dalam
bentuk barang mentah. Alangkah baiknya kita banyak mengimpor barang
modal dan teknologi agar kelak ekspor kita punya nilai tambah juga
merubah dominasi sektor ekonomi dari hulu ke hilir.
Untuk menjaga pertumbuhan ekspor ini juga bisa dilakukan dengan
beberapa cara. Mulai dari diversifikasi pasar ekspor, optimalisasi peran
perwakilan perdagangan di luar negeri hingga optimalisasi kemampuan
berkomunikasi aparatur Kementerian Perdagangan di luar negeri.
Sebuah krisis ekonomi memang mejadi sebuah masalah, namun di dalam
masalah itu ternyata masih banyak kesempatan (oportuniti) yang bisa kita
rebut. Saya jadi teringat cerita seorang pengusaha, yang dengan berat
hati menutup pabrik lahan usahanya saat terjadi krisis moneter. Ia
melihat ada kesempatan di saat suku bunga naik hingga 400% Lalu, ia pun
menjual usahanya dan memasukkan uang hasil penjualan perusahaannya
tersebut dalam investasi perbankan, dan keuntungannya ternyata lebih
dari saat pabriknya beroperasi. Inilah yang dinamakan “kesempatan dalam
sebuah kesempitan”
|
Sabtu, 12 Mei 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar